Sejak muncul 15 tahun silam, bisnis distro (distribution outlet) yang ditopang semangat indie (independen) para pelakunya terus menggeliat. Padahal persaingan antar mereka makin hari makin ketat. Sementara baju impor juga membanjir. Apa yang membuat para pebisnis distro bisa bertahan?
Setelah sempat meledak di tahun 2000-an, bisnis distro masih terbilang menjanjikan. Buktinya, bebeberapa titik kota yang menjadi sentra lokasi gerai distro masih ramai dikunjungi orang. Distro Bloop dan Endorse di bilangan Tebet, Jakarta Selatan, misalnya, sehari bisa dikunjungi hingga 3.000 orang. Menjelang Lebaran pernah mencapai rekor 11.000 pengunjung sehari. Jumlah merek pakaian pun kini mencapai lebih dari 1.200. Mereka tersebar di lebih dari 100 kota di Tanah Air dan beberapa negara. Padahal di tahun 1997-98, jumlahnya tak lebih dari 5-7 merek saja.
Agak ajaib memang. Terlebih jika kita membandingkannya dengan arus baju impor yang kian membanjiri pasar domestik. Harga Pokok Penjualan (HPP) juga melonjak beberapa kali lipat seiring meningkatnya inflasi. Ditambah lagi, maraknya pembajakan dan persaingan harga yang kian ketat di antara para pelaku bisnis distro sendiri.
Contoh, baju impor dari Inggris kini bisa dibeli dengan kisaran harga Rp100 ribu-an saja. Harga aslinya di sana bisa mencapai Rp600 ribu sampai Rp1 juta. Tapi kebijakan proteksi negeri pengekspor membuat harganya bisa turun hingga 90%! Jadi, tidak jauh beda dengan harga baju produk lokal.
Sedangkan dari sisi HPP, sulit membayangkan pebisnis distro bisa bersaing dengan mereka yang produknya lebih massal. Sebab dengan memproduksi lebih banyak, baik HPP maupun harga jualnya pasti lebih murah. Sementara distro, yang dibesarkan dengan semangat indie itu, masih konsisten dengan produk edisi terbatas. HPP-nya tak bisa terlalu ditekan mengingat harga bahan baku yang terus naik, termasuk biaya transportasi dan gaji karyawan.
Dari segi itu, jelaslah mengobral harga produk dengan murah hanya akan mempercepat kebangkrutan. Lalu apa yang membuat bisnis distro ini bertahan di tengah tantangan yang kian berat?
Sejumlah ancaman mengepung bisnis distribution outlet (distro). Persaingan yang kian ketat - bahkan menjurus tidak sehat, biaya produksi yang terus merangkak, dan serbuan baju impor. Setidaknya itulah yang membuat para pelaku bisnis distro harus terus memutar otak. Namun demikian, reportase Intisari menemukan bahwa gerai-gerai distro masih ramai dikunjungi. Pemain lama pun masih banyak yang bertahan.
Hal apa saja yang membuat bisnis distro ini bertahan di tengah tantangan yang kian berat? Pengalaman dari pengelola salah satu distro di bilangan Tebet, Jakarta Selatan, ini mungkin bisa memberikan gambaran.
- Kreativitas dan inovasi.“Kreativitas dan inovasi,” ujar Theresia Alit Widyasari (31), pemilik brand clothing dan distro-distro Bloop, Endorse, dan Urbie di Jakarta. Selama ini, dua kata kunci itu memang menjadi roh yang menggairahkan bisnis distro. “Kalau bersaing dari sisi harga, bisnis ini sudah pasti mati,” lanjut Widya yang memulai bisnis distro sejak akhir tahun 2004 bersama dua saudara kandungnya.
Karena itu, kata dia, Bloop dan Endorse selalu memikirkan cara menelurkan produk baru yang tidak ditemui di tempat lain. Untuk menggenjot pemasaran, Bloop-Endorse-Urbie berkolaborasi dengan blogger fashion. Blog fashion dalam sehari bisa dikunjungi sampai 5.000 pengunjung. Bloop lalu memanfaatkannya sebagai wahana promosi gratis dengan memajang produk mereka di blog tersebut. Dari sini Bloop mendapat banyak pelanggan. Bahkan tak sedikit pembeli dari negeri tetangga yang mendapat info awalnya dari blog tersebut.
Adapun inovasi yang dilakukan Bloop biasanya mengikuti momentum. Misalnya, ketika berlangsung acara Piala Eropa 2012, mereka membuat kaos dengan tema taruhan bola. “Awalnya ini hanya untuk lucu-lucuan. Tapi ternyata laku keras,” kata Widya.
- Berkolaborasi.Bloop juga menjalin kerja sama promosi dengan penyanyi Widi, vokalis grup musik Vierra. Tujuannya, untuk menggaet pelanggan baru dari komunitas penggemar musik. Upaya ini tak sia-sia. Banyak penggemar Vierra menjadi pelanggan tetap yang cukup loyal. Bahkan, ketika mengeluarkan satu seri kostum Widi Viera yang terdiri atas 12 macam, salah seorang di antara mereka berani membeli semuanya.
Untuk menjalin keterikatan emosional dengan pembeli, Bloop suka mengadakan ajang kejutan. Misalnya, tahun lalu, ketika sedang ramai pengunjung, musik di toko tiba-tiba dimatikan. Lalu setiap pengunjung dikasih amplop satu-satu. Isinya voucher belanja gratis Rp100.000 sampai Rp1.500.000. Para pengunjung pun senang, dan sempat membuat heboh seisi toko. “Nah, mereka pasti bakal bercerita pada teman-temannya, karena ini menjadi pengalaman tak terlupakan,” kata Widya. “Akhirnya, mereka secara tidak langsung menjadi marketer kami juga.”
Ada juga pelayanan purnajual. Jika pembeli bermasalah dengan produk Bloop, barangnya boleh ditukar kembali, bahkan dikembalikan uangnya, asalkan tidak lebih dari 30 hari sejak barang itu dibeli. “Kita inginnya pembeli itu merasa senang dengan produk kita. Maka kalau nggak senang, produknya bisa dikembalikan,” begitu Widya memberi alasan.
Bloop sebenarnya sudah berusaha mengoptimalkan kontrol kualitas. Toh kadang ada yang terlewat. Namun, Bloop mengaku sangat memperhatikan keluhan pembeli satu per satu, sesuatu yang mungkin tidak dilakukan di tempat lain.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar